"Ayo bangun bang, cepat mandi, pakai air, jangan hangat" kata Lala.
"Iya" kataku sambil merenggangkan seluruh tubuh, termasuk lidah, empedu, dan kantung kemih.
Lala adalah dia orangnya, adik yang aku suruh untuk mengantarku bertemu suster cantik di RSUD pagi-pagi sekali. Dan aku yang disuruh teteh untuk memberi uang Rupiah kepada manusia yang bernama Dinar.
Dinar adalah dia orangnya, berwujud manusia dan berjenis kelamin perempuan, suka telanjang kalau mandi, yang pasti dia bekerja disana, begitupun dinar yang akan senyum lalu menukarkan uang dengan obat. Kamu tau tidak RSUD mana yang aku maksud? pasti tidak, karena tidak akan aku beri tahu.
Hari ini selasa, ada cuaca segar di dalamnya juga, atas nama burung dipagi hari yang sedang bernyanyi seperti anak TK, oh ini adalah Bogor yang membuat hari ini pasti akan menjadi menyenangkan, apalagi dibantu oleh urusan diriku yang sedang ada cuti bekerja. Harusnya aku bangun siang biar dibilang rajin. Iya, rajin bangun siang.
Tapi hari ini adalah tugasku untuk bangun pagi-pagi. Alasanku kenapa bangun Sepagi ini adalah: karena lala membangunkan. Selain itu juga karena aku tau di RSUD banyak orang sakit yang akan mengantri mendaftar untuk memeriksa kondisi dirinya yang dia anggap sakit, tidak semua sih, mungkin ada yang mau konsultasi juga, konsultasi kejiwaan, mungkin ada yang mau cabut gigi, mungkin ada yang mau menemui dokter seksologi, mungkin ada wanita muda yang ingin memeriksa kandungan, mungkin ada yang mau aborsi, mungkin ada yang mau melamar pekerjaan, mungkin ada yang mau membesuk, mungkin ada yang mau teh manis? iya, aku sedang minum teh manis karena capek harus nulis seperti itu. Maka dari itu, aku dan Lala berangkat pagi-pagi menuju RSUD mengendarai motor sampai pukul 06.14 WIB.
Lihat kami, sudah berada di atas motor lagi untuk melaju menuju tempat yang kami ingin. Tapi tentu saja tidak tiba-tiba berada di atas motor, ada rintangan yang harus kami hadapi untuk sampai di atas motor, yang aku pikir hanya membuang buang waku jika harus menceritakan kronologi kejadiannya disini.
Oke! motorpun melaju, karena? karena Lala menarik gasnya, ah itu mudah, anak TK pun bisa melakukannya. Kami melaju lurus melewati gang sempit menuju jalan raya puncak, tapi tidak lurus terus, ada belok sedikit sedikit. Kecuali kalo kamu keras kepala dan ingin melaju lurus terus dan menabrak rumah mang Yayan yang terbuat dari beton.
Hebat, sekarang aku sudah melaju di atas, di atas motor, diatas aspal di jalan raya puncak, yaitu jalan raya utama yang pernah dilewati presiden, wakilnya, gubernur, kiyai, santri, rombongan haji, binaragawan, vegetarian, dan Arnold Schwarzenegger. Memang dia pernah? tentu saja tidak, tapi bisa, kalo dia mau.
Motor melaju dengan kecepatan 40km/jam, melewati banyak rumah dan papan reklame yang besar bergambarkan dua orang calon pemimpin beserta janji janjinya. Ditemani turunnya kabut pagi hari yang segar, yang seakan runtuh dan ingin melenyapkan daratan Cisarua secara perlahan.
Bogor, kalo hari biasa itu adalah Bogor, yang sejuk, dan di sepanjang jalan raya penuh kedamaian. Tapi sayang, pada saat akhir pekan atau liburan, Bogor menjadi milik orang Jakarta, membuatnya menjadi macet, menyebabkan panas cuaca, dan panas jiwa raga karena bunyi klakson dimana-mana. Yah, apalah boleh buat, Jakarta adalah Ibu Kota, bukannya anak harus nurut dan tidak boleh melawan Ibunya? sebenarnya boleh, jika kamu ingin seperti Malin Kundang yang terkenal tapi dikutuk menjadi batu karena durhaka pada Ibunya.
Dinar adalah dia orangnya, berwujud manusia dan berjenis kelamin perempuan, suka telanjang kalau mandi, yang pasti dia bekerja disana, begitupun dinar yang akan senyum lalu menukarkan uang dengan obat. Kamu tau tidak RSUD mana yang aku maksud? pasti tidak, karena tidak akan aku beri tahu.
Hari ini selasa, ada cuaca segar di dalamnya juga, atas nama burung dipagi hari yang sedang bernyanyi seperti anak TK, oh ini adalah Bogor yang membuat hari ini pasti akan menjadi menyenangkan, apalagi dibantu oleh urusan diriku yang sedang ada cuti bekerja. Harusnya aku bangun siang biar dibilang rajin. Iya, rajin bangun siang.
Tapi hari ini adalah tugasku untuk bangun pagi-pagi. Alasanku kenapa bangun Sepagi ini adalah: karena lala membangunkan. Selain itu juga karena aku tau di RSUD banyak orang sakit yang akan mengantri mendaftar untuk memeriksa kondisi dirinya yang dia anggap sakit, tidak semua sih, mungkin ada yang mau konsultasi juga, konsultasi kejiwaan, mungkin ada yang mau cabut gigi, mungkin ada yang mau menemui dokter seksologi, mungkin ada wanita muda yang ingin memeriksa kandungan, mungkin ada yang mau aborsi, mungkin ada yang mau melamar pekerjaan, mungkin ada yang mau membesuk, mungkin ada yang mau teh manis? iya, aku sedang minum teh manis karena capek harus nulis seperti itu. Maka dari itu, aku dan Lala berangkat pagi-pagi menuju RSUD mengendarai motor sampai pukul 06.14 WIB.
Lihat kami, sudah berada di atas motor lagi untuk melaju menuju tempat yang kami ingin. Tapi tentu saja tidak tiba-tiba berada di atas motor, ada rintangan yang harus kami hadapi untuk sampai di atas motor, yang aku pikir hanya membuang buang waku jika harus menceritakan kronologi kejadiannya disini.
Oke! motorpun melaju, karena? karena Lala menarik gasnya, ah itu mudah, anak TK pun bisa melakukannya. Kami melaju lurus melewati gang sempit menuju jalan raya puncak, tapi tidak lurus terus, ada belok sedikit sedikit. Kecuali kalo kamu keras kepala dan ingin melaju lurus terus dan menabrak rumah mang Yayan yang terbuat dari beton.
Hebat, sekarang aku sudah melaju di atas, di atas motor, diatas aspal di jalan raya puncak, yaitu jalan raya utama yang pernah dilewati presiden, wakilnya, gubernur, kiyai, santri, rombongan haji, binaragawan, vegetarian, dan Arnold Schwarzenegger. Memang dia pernah? tentu saja tidak, tapi bisa, kalo dia mau.
Motor melaju dengan kecepatan 40km/jam, melewati banyak rumah dan papan reklame yang besar bergambarkan dua orang calon pemimpin beserta janji janjinya. Ditemani turunnya kabut pagi hari yang segar, yang seakan runtuh dan ingin melenyapkan daratan Cisarua secara perlahan.
Bogor, kalo hari biasa itu adalah Bogor, yang sejuk, dan di sepanjang jalan raya penuh kedamaian. Tapi sayang, pada saat akhir pekan atau liburan, Bogor menjadi milik orang Jakarta, membuatnya menjadi macet, menyebabkan panas cuaca, dan panas jiwa raga karena bunyi klakson dimana-mana. Yah, apalah boleh buat, Jakarta adalah Ibu Kota, bukannya anak harus nurut dan tidak boleh melawan Ibunya? sebenarnya boleh, jika kamu ingin seperti Malin Kundang yang terkenal tapi dikutuk menjadi batu karena durhaka pada Ibunya.
"La, kenapa kita pakai jaket?" kataku ketika diatas motor.
"Biar anget bang" jawab Lala.
"Kalogitu, kita buka"
"Biar apa?"
"Biar dingin he he he"
"Ayo! ha ha ha"
Dan kamipun tidak melakukannya karena itu akan membuat kita kedinginan dan mendzolimi diri sendiri jadinya.
Alhamdulillah, aku harus bersyukur, kenapa? karena aku sudah sampai di RSUD, wow! lebih cepat lima belas menit dua puluh tiga ternyata. Lala yang sedang sibuk mencari posisi parkir, aku suruh dia jadi orang sakit, maksudku, cuma pura pura sakit, tapi nyatanya dia gak mau.
Sampai disana, aku dan Lala, atau biasa disebut kami, menunggu selama lima belas menit. Dan itu cukup membuatku bosan, gak tau Lala, karena itu urusannya, mau bosan atau tidak, dialah tuannya. Sampai akhirnya aku perhatikan orang-orang disekitar. Disitu banyak orang yang sibuk menjadi dirinya sendiri, ada yang riweuh (bahasa Indonesianya: heboh dalam konotasi negatif), ada yang santai, ada yang diam dan hanya berharap kesembuhan, dan ada yang merokok, iya, tentu saja bukan disini, melainkan seberang sana di tempat yang bertuliskan "warung kopi sedia mi rebus".
Kalian bisa lihat segerombolan wanita berseragam putih itu?! pasti tidak, kecuali kalian ada disini waktu itu bersamaku. Biar aku tebak, mereka pasti calon Bidan, maksudku, mereka adalah yang sedang melakukan praktik kerja disini. Ya, aku melihat dari pakaiannya.
"Bang, mau kemana orang-orang itu" kata Lala sambil memonyongkan bibir sebagai alat penunjuk.
"Mereka calon bidan, mau praktik bekerja mungkin, oh, aku lihat diseragamnya" kataku.
"Oh, tapi bagai mana kalau bukan bang?"
"Iya la, bagaimana kalo dia selingkuh sama dokter yang ada di dalam? Apa kata kekasihnya nanti?"
"Ah itu gak mungkin bang"
"Haruskah aku tanyakan?"
"Gak usah!"
Kamu harus tau, waktu itu melaju, kalau kamu ada disini pasti bisa membuktikan bahwa waktu tinggal lima menit lagi untuk satpam membuka pintu utama RSUD, dan kita harus tetap menunggu.
"La, perhatikan tukang sampah yang sedang menyapu" Kataku.
"Kenapa gitu?" tanya Lala sambil menoleh ke arah selatan.
"Dia ingin diperhatikan orang-orang" jawabku "Tapi dengan caranya sendiri"
"Ha ha ha, betul!" jawab lala, menandakan bahwa dia setuju.
"Dia masuk ke tengah-tengah rombongan ibu-ibu yang sedang asyik bergosip"
"Iya, dia menyapu di tengah tengah rombongan ibu-ibu"
"Iya, dia diperhatikan oleh semuanya, hihi" kataku "Kamu mau diperhatikan mereka enggak?"
"Caranya, bang?" Tanya Lala.
"Gampang, pura-pura kesurupan, nanti aku yang sadarkan"
"Ha ha ha"
Pintu sudah terbuka, tentu saja tidak otomatis, karena ada dua manusia berjenis kelamin laki-laki dibalik itu yang sudah membukakan pintu, namanya Nurdin, dan satu lagi, oke, siapa itu? aku lupa namanya. Jangan heran kalau aku tiba-tiba tau namanya, aku pikir, aku gak perlu kasih tahu kamu bahwa aku tau namanya dari name tag berwarna hitam putih yang dia tempelkan di dada bagian kiri. Dan nyatanya kamu sekarang sudah tau.
Lihat kami, berjalan masuk kedalam tanpa mengetuk pintu, karena aku pikir lebih baik tak perlu mengetuk pintu terlebih dahulu, kecuali apa? kecuali kau mau.
Sekarang aku menemukan Dinar! sebab? sebab aku melihat acrylic name plate yang bertuliskan Dinar S. Ramadhan, di meja dekat stand pendaftaran. Aku bisa lihat usianya sekitar dua puluh dua tahun kurang dua bulan. Oh mungkin itu dia yang aku maksud, maka aku membungkuk untuk bisa berbicara melalui lubang kecil yang menghubungkan keduanya, maksudku, menghubungkan aku dan Dinar.
"Dinar?" tanya aku "Mba Dinar?!"
"Iya, bisa di bantu?"
"Ini, Dinar S. Ramadhan, kan?"
"Iya a" kata dia sambil senyum.
"Serius ih!" sambungku "Sumpah?"
"Sumpah apa a?" jawab dia, aku lihat dia seperti mengerutkan dahi.
"Sumpah ini Dinar Safitri Ramadhan?"
"Eh, bukan a, Dinar Septia Ramadhan" jawab dia sambil lihat layar komputer.
"Oh yaudah gausah dipikirin, kenalin ini Permana Sidik" kataku sambil menunjuk Lala.
"He he bisa dibantu, a?"
"Iya, aku mau tuker ini mba" sambil melihatkan kertas.
"Coba saya liat dulu"
"Silahkan" Jawabku.
"Atas nama Eva, ya?"
"Evawati Sukarno Putri?" tanyaku.
"Evawati aja a he he"
"Masa? tadi ada Sukarno Putri nya" kataku "Sumpah lagi?"
"He he he" dia ketawa, sedikit, seperti gak perlu "Semuanya seratus tiga puluh lima ribu rupiah a"
"Oh iya, ini mba" sambil memberi uang, yaitu lima puluh ribuan tiga.
"Ini obatnya, diminum dua kali sehari setiap pagi dan sebelum tidur" katanya.
"Obatnya boleh pake nasi mba?" kata Lala.
"Ih, ha ha ha"
"Ha ha ha, yaudah makasih mba, salam buat bi Haji ya" kata Lala "Mangga!"
"Mangga a!"
Itulah Dinar, adalah dia orangnya, suka telanjang kalo mandi. Oh iya, tadi dia memberiku uang, tapi kamu jangan curiga, karena uang itu adalah uang kembalian.
Ayo Lala, kita harus pulang, aku lapar, belum sarapan, dan sekarang harus. Aku punya ide cemerlang La, kamu mau tau? iya, kita cari makanan di jalan saat pulang. Motorpun melaju kemana, yaitu keluar dari kawasan RSUD agar lala bisa merokok, tapi intinya bukan karena itu, karena kami ingin pulang.
Sekarang sudah pukul tujuh tiga belas, waktunya pulang, matahari seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya, tapi tidak dengan rombongan kabut, mereka sangat percaya diri untuk membuat temperatur menjadi dingin. kami sudah berdiskusi untuk ambil jalan memotong, karena, jam segini polisi sudah ada di setiap sudut kota untuk menegakkan perdamaian. Maka dari itu aku ambil jalan lain, sambil mencari makanan yang dijual bebas di sepanjang jalan, yaitu jalan ke arah bendungan, melalui pasir muncang, cidokom dan muncul disana, yaitu di cisarua tempat kami tidur, makan, mandi dan main playstation, kalo shalat, harus ke masjid.
Lihatlah kami, yang kelaparan, kedinginan, mata merah, dan memakai helm. Oh, tidak kah kau kasihan pada kami?
Tuhan selalu sayang pada hambanya, maka akupun bertermu dengan warung di daerah apa itu namanya aku lupa. warung berukuran 3x4 meter yang terletak di pinggir jalan, yang menjual banyak makanan untuk dimakan. Aku lihat ada nasi uduk dan kawan-kawannya disana, maka kami putuskan untuk menghentikan motor di samping warung karena ada kebutuhan primer yang harus kita penuhi terlebih dahulu.
Disana sudah ada sejenis manusia, yang sedang duduk di bangku panjang berukuran 1,5 meter, sedang sarapan pagi. Aku yang kedinginan pun langsung duduk di bangku tersebut, tapi tidak dengan Lala, dia berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada, seolah-olah biar semua orang di dunia tau bahwa dia sedang kedinginan. Bangku ini sebenarnya muat untuk tiga orang, tapi sejenis manusia disampingku ini tidak mau berbagi tempat duduk kepadakami, dia malah asyik menyimpan helm miliknya untuk tetap berada di sampingnya.
"Rokok a?" aku menawarinya rokok "Enggak ngerokok!" katanya, kulihat wajahnya begitu ketus, mebuat tanganku ingin sekali menamparnya, mungkin Lala juga, mungkin kamu juga jika berada disini, mungkin Pak Ustad juga, kalo dia bukan orang yang sabar.
Aku mencari manusia lain, tepatnya manusia yang punya warung ini untuk memesan nasi uduk. Tidak lama kemudian, hey! lihat! aku punya rahasia, ternyata yang punya warung ini adalah perempuan setengah baya. Dia adalah yang aku panggil Bi Enur! padahal namanya bukan.
"Bi Enur, aduh siapa initeh lupa lagi" kataku sambil memasang wajah bingung.
"Bi Diah" katanya sambil senyum.
"Aduh iya bi maaf, lupa lagi udah lama gak kesini he he he"
"Iyah gak apa apa jang" katanya sambil memanaskan kompor.
Tentu saja, Jang bukan namaku, Jang yang dia maksud adalah: Ujang, yaitu seperti panggilan aden, atau den.
"Laper euy bi, dari sd belum makan" Kata Lala.
"Silahkan makan, itu ada nasi uduk masih hangat" Kata si bi Diah. Sebenarnya bi Diah waktu itu ngomong sunda, tapi sudah aku terjemahkan.
"Iya bi, mangga!"
"Mangga!"
Oh neptunus dan penghuni lautan, lihatlah betapa lahapnya aku dan Lala ketika makan. Jangan menangis, karena menangis di dalam lautan akan sia-sia.
Kamu tau dengan cara apa kami makan? Betul, dengan cara duduk, mengunyah dan menelannya. Akhirnya Lala duduk di sampingku, setelah sejenis manusia yang Lala panggil monyet itu pergi mengendarai sepeda motor.
Alhamdulillah, aku bersyukur tanpa sendawa, karena kebutuhan primer ku sudah terpenuhi. Ayo Lala mari pulang, sekarang aku mengantuk, tapi kamu jangan, karena harus menelusuri Kabupaten Bogor Tegar Beriman menuju rumah. Inilah hari ini, kapan aku ada waktu untuk seperti ini lagi, Lala?










































